Holokaus – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Posted By on January 22, 2016

Holocaust (dari bahasa Yunani holkaustos: hlos, "seluruh" dan kausts, "terbakar"),[1] dikenal pula sebagai Shoah (bahasa Ibrani: , HaShoah, "bencana"; bahasa Yiddi: , Churben atau Hurban,[2] dari bahasa Ibrani "penghancuran"), adalah genosida terhadap kira-kira enam juta penganut Yahudi Eropa selama Perang Dunia II, suatu program pembunuhan sistematis yang didukung oleh negara Jerman Nazi, dipimpin oleh Adolf Hitler, dan berlangsung di seluruh wilayah yang dikuasai oleh Nazi.[3] Dari sembilan juta Yahudi yang tinggal di Eropa sebelum Holocaust, sekitar dua pertiganya tewas.[4] Secara khusus, lebih dari satu juta anak Yahudi tewas dalam Holocaust, serta kira-kira dua juta wanita Yahudi dan tiga juta pria Yahudi.[5][6]

Beberapa pakar berpendapat bahwa definisi Holocaust harus meliputi pula genosida Nazi terhadap jutaan orang dalam kelompok lain selain Yahudi, di antaranya orang Rom, komunis, tawanan perang Soviet, warga Polandia dan Soviet, homoseksual, orang cacat, Saksi Yehuwa dan musuh politik dan keagamaan lainnya, yang menjadi korban terlepas apakah mereka berasal dari etnis Jerman atau bukan.[7] Ini adalah definisi yang paling umum digunakan sejak akhir Perang Dunia II hingga tahun 1960-an.[7] Jika menggunakan definisi ini, maka jumlah keseluruhan korban Holocaust adalah 11 hingga 17 juta jiwa.[8]

Penyiksaan dan genosida dilakukan dalam beberapa tahap. Sejumlah hukum untuk menghapuskan keberadaan orang Yahudi dari masyarakat sipil, yang paling terkenal adalah Hukum Nuremberg, diberlakukan di Jerman Nazi bertahun-tahun sebelum dimulainya Perang Dunia II. Kamp konsentrasi didirikan yang di dalamnya para tahanan diharuskan melakukan kerja paksa hingga mereka mati akibat kelelahan atau penyakit. Ketika Jerman menaklukan wilayah baru di Eropa Timur, satuan khusus yang disebut Einsatzgruppen membantai musuh-musuh politik melalui penembakan massal. Nazi memerintahkan orang Yahudi dan Rom untuk dikurung di ghetto sebelum dipindahkan dengan kereta barang ke kamp pemusnahan. Di sana, jika mereka selamat dalam perjalanan, sebagian besar dari mereka secara sistematis dibunuh di dalam kamar gas.

Setiap bagian dari birokrasi Jerman Nazi terlibat dalam logistik yang berujung pada genosida, mengubah Reich Ketiga menjadi apa yang oleh para pakar Holocaust disebut sebagai "negara genosida".[9] Ada perbedaan pendapat mengenai berapa banyak yang diketahui oleh penduduk sipil Jerman mengenai konspirasi pemerintah terhadap orang Yahudi. Sebagian besar sejarawan mengklaim bahwa penduduk sipil tidak mengetahui kekejaman yang dilakukan pemerintah, khususnya yang terjadi di kamp konsentrasi, yang terletak di luar Jerman di Eropa yang diduduki Nazi. Akan tetapi, sejarawan Robert Gellately mengklaim bahwa pemerintah secara terbuka mengumumkan konspirasi melalui media, dan bahwa warga sipil mengetahui setiap aspeknya kecuali penggunaan kamar gas.[10] Bukti sejarah signifikan menunjukkan gagasan bahwa sebagian besar korban Holocaust, sebelum dikirim ke kamp konsentrasi, tidak mengetahui nasib yang menanti mereka, atau tidak mempercayainya. Mereka meyakini bahwa mereka akan diberikan tempat tinggal baru.[11]

Istilah Holocaust berasal dari kata Yunani; holkauston, yang berarti binatang kurban (olos) yang dipersembahkan kepada tuhan dengan cara dibakar (kaustos).[12] Selama ratusan tahun, kata "holocaust" digunakan dalam bahasa Inggris untuk merujuk kepada suatu peristiwa "pembantaian besar", namun sejak tahun 1960-an, istilah ini mulai digunakan oleh para pakar dan penulis populer untuk menggambarkan genosida terhadap umat Yahudi. Pada tahun 1978, sebuah mini seri berjudul Holocaust mulai mempopulerkan penggunaan istilah ini dalam bahasa sehari-hari.[14]

Dalam Alkitab, kata Shoah () (juga dieja Sho'ah atau Shoa), bermakna "bencana". Kata ini menjadi istilah standar dalam bahasa Ibrani yang digunakan untuk menyebut Holocaust pada awal 1940-an, terutama di Eropa dan Israel.[15] Penggunaan istilah Shoah ini lebih disukai oleh banyak umat Yahudi karena berbagai alasan, termasuk sifat teologis dari kata "holocaust", yang mereka anggap sebagai Referensi pada kebiasaan pagan bangsa Yunani.[16]

Nazi menggunakan frasa eufemisme untuk menggambarkan peristiwa ini, yaitu "Solusi Akhir atas Permasalahan Yahudi" (bahasa Jerman: Endlsung der Judenfrage). Frasa "Solusi Akhir" ini banyak digunakan sebagai istilah untuk merujuk kepada genosida umat Yahudi di kemudian harinya. Nazi juga menggunakan istilah "lebensunwertes leben" (kehidupan bagi yang layak hidup) dalam upaya untuk membenarkan tindakan pembunuhan mereka.

Sejarawan Michael Berenbaum mengungkapkan bahwa Jerman telah menjadi sebuah "negara genosida": "Setiap birokrasi di negara ini terlibat dalam proses pembunuhan selama terjadinya Holocaust. Gereja-gereja paroki dan Kementerian Dalam Negeri menyediakan catatan kelahiran untuk mengidentifikasi penganut Yahudi, Kantor Pos menyampaikan perintah deportasi dan denaturalisasi, Departemen Keuangan menyita properti umat Yahudi, dan perusahaan-perusahaan Jerman memecat para pegawai Yahudi". Universitas-universitas juga menolak untuk menerima mahasiswa Yahudi, tidak mengakui gelar akademik mereka yang sudah lulus, dan menembak mati para akademisi Yahudi. Sedangkan badan transportasi pemerintah Jerman bertugas mengatur transportasi kereta untuk mengangkut umat Yahudi ke kamp-kamp, perusahaan farmasi Jerman menguji coba-kan obat-obatan pada para tahanan di kamp, perusahaan-perusahaan ditawarkan kontrak untuk membangun krematorium, dan daftar rinci para korban dibuat dengan menggunakan mesin cetak yang diproduksi oleh perusahan IBM Jerman, Dehomag. Saat para tahanan memasuki kamp-kamp kematian, mereka diharuskan untuk menyerahkan semua barang pribadi mereka. Barang-barang ini selanjutnya di katalog-kan dan dikirim ke Jerman untuk digunakan kembali atau di daur ulang. Berenbaum juga mengungkapkan bahwa bagi para pelaku, peristiwa ini merupakan prestasi terbesar Jerman. Melalui sebuah rekening terselubung, bank nasional Jerman membantu "mencuci" barang-barang berharga yang dicuri dari para korban.

Saul Friedlnder menyatakan bahwa: "Tidak satupun kelompok sosial, kelompok keagamaan, lembaga pendidikan, ataupun asosiasi profesional di Jerman dan di seluruh Eropa yang menyatakan solidaritasnya terhadap orang-orang Yahudi." Friedlnder juga mengungkapkan bahwa beberapa gereja Kristen menyatakan bahwa umat Yahudi yang pindah agama harus dianggap sebagai bagian dari "kawanan", namun itupun hanya pada titik tertentu. Friedlnder berpendapat bahwa hal tersebut menjadikan peristiwa Holocaust ini "khas" karena mampu terungkap tanpa adanya campur tangan dari kekuatan-kekuatan yang biasanya ditemukan dalam masyarakat maju, seperti industri, usaha kecil, gereja-gereja, dan kelompok masyarakat lainnya.

Dalam kasus-kasus genosida lainnya, pertimbangan pragmatis seperti untuk menguasai wilayah dan sumber daya merupakan faktor-faktor utama yang melahirkan kebijakan genosida. Namun, menurut sejarawan Yehuda Bauer, "motivasi dasar [dari Holocaust] adalah murni kepentingan ideologis, yang berakar dari dunia ilusi imajinasi Nazi yang mengkhawatirkan bahwa adanya sebuah konspirasi Yahudi internasional yang akan mengendalikan dunia dan menentang superioritas bangsa Arya."

Menanggapi pernyataan filsuf Jerman Ernst Nolte, yang mengklaim bahwa peristiwa Holocaust ini tidak "unik", sejarawan Jerman Eberhard Jckel menulis pada tahun 1986, ia menyatakan bahwa Holocaust "unik" karena belum pernah ada sebelumnya sebuah negara dengan pemimpin yang sepenuhnya bertanggung jawab untuk memutuskan dan mengumumkan pembunuhan terhadap sekelompok manusia tertentu, termasuk wanita, anak-anak, dan bayi.

Pembantaian dilakukan secara sistematis di hampir semua negara yang diduduki oleh Nazi di wilayah yang saat ini menjadi 35 negara Eropa yang terpisah.[22] Pembantaian paling parah terjadi di kawasan Eropa Tengah dan Timur, yang memiliki lebih dari tujuh juta penganut Yahudi pada tahun 1939. Sekitar lima juta umat Yahudi dibunuh di sana, termasuk tiga juta di Polandia dan lebih dari satu juta di Uni Soviet. Ratusan ribu umat Yahudi juga tewas di Belanda, Perancis, Belgia, Yugoslavia dan Yunani. Selain itu, Protokol Wannsee menegaskan bahwa Jerman bermaksud untuk memperluas agenda "solusi akhir dari permasalahan Yahudi" mereka ke Britania Raya dan negara-negara netral lainnya di Eropa seperti Irlandia, Swiss, Turki, Swedia, Portugal dan Spanyol.

Siapapun yang memiliki tiga atau empat garis leluhur Yahudi harus dimusnahkan tanpa terkecuali. Dalam peristiwa genosida lainnya, para korban dapat menghindari kematian dengan cara pindah ke agama lain atau berasimilasi. Namun pilihan ini tidak tersedia bagi umat Yahudi di negara-negara Eropa yang diduduki oleh Nazi,[24] kecuali bahwa kakek-nenek mereka telah pindah agama sebelum tanggal 18 Januari 1871. Selain itu, semua orang yang baru-baru ini memiliki keturunan Yahudi juga dibinasakan oleh Nazi di wilayah-wilayah yang dikuasainya.

Kamp-kamp pemusnahan dilengkapi dengan kamar gas untuk tujuan pemusnahan massal secara sistematis. Metode ini merupakan fitur unik dari Holocaust dan belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah. Tidak pernah tercatat sebelumnya dalam sejarah di mana telah disediakan tempat dengan tujuan untuk membunuh orang secara massal. Kamp-kamp ini didirikan di Auschwitz, Belzec, Chemno, Jasenovac, Majdanek, Maly Trostenets, Sobibor, dan Treblinka.

Ciri khas lainnya dari Holocaust adalah penggunaan subyek manusia dalam eksperimen medis. "Para dokter Jerman lebih bersifat "Nazi" dibandingkan dengan para profesional lain dalam hal keanggotaan partai," dan mereka melakukan berbagai eksperimen medis di kamp konsentrasi Auschwitz, Dachau, Buchenwald, Ravensbrck, Sachsenhausen, dan Natzweiler.

Dokter Nazi yang paling terkenal adalah Dr. Josef Mengele, yang melakukan eksperimennya di Auschwitz. Eksperimennya ini termasuk menempatkan subyek dalam ruang bertekanan, pengujian obat-obatan pada subyek, membekukan subyek, berusaha untuk mengubah warna mata dengan cara menyuntikkan bahan kimia ke dalam mata anak-anak dan berbagai eksperimen amputasi serta operasi brutal lainnya. Hasil akhir dari eksperimennya ini tidak pernah diketahui karena catatan eksperimennya yang dikirimkan pada Dr. Otmar von Verschuer di Kaiser Wilhelm Institute dihancurkan oleh von Verschuer. Sebagian besar subyek yang berhasil selamat dari eksperimen Mengele selalu berakhir dengan dibunuh, atau dibedah setelah eksperimen.

Mengele biasanya sangat tertarik untuk bereksperimen dengan anak-anak Romani. Dia akan membawakan mereka permen atau mainan, dan kemudian secara pribadi membawa mereka ke kamar gas. Mereka memanggil Mengele dengan sebutan "Onkel Mengele". Vera Alexander, salah seorang tahanan Yahudi di Auschwitz yang menyaksikan hasil eksperimen kembar Romani Mengele mengungkapkan:

Saya ingat sepasang anak kembar: Guido dan Ina, berusia sekitar empat tahunan. Suatu hari, Mengele membawa mereka pergi. Ketika mereka kembali, keadaan mereka sangat mengerikan: mereka berdua dijahit menyatu, saling membelakangi, seperti kembar siam. Luka-luka mereka terinfeksi dan bernanah. Mereka berteriak siang dan malam. Kemudian orang tua mereka saya ingat nama sang ibu adalah Stella berhasil mendapatkan morfin, dan ia membunuh anak-anaknya untuk mengakhiri penderitaan mereka.

Sejarawan Yehuda Bauer, Raul Hilberg dan Lucy Dawidowicz menyatakan bahwa sejak Abad Pertengahan dan seterusnya, masyarakat dan budaya di Jerman diliputi oleh antisemitisme, dan bahwa ada pengaruh langsung dari pogrom pada abad pertengahan ke kamp-kamp kematian Nazi.

Pada paruh kedua abad ke-19, di Jerman dan Austria-Hongaria muncul sebuah gerakan bernama gerakan Vlkisch, yang dikembangkan oleh para pemikir seperti Houston Stewart Chamberlain dan Paul de Lagarde. Gerakan ini menyatakan bahwa Jerman harus memandang orang-orang Yahudi sebagai "ras" tandingan dalam pertarungan hidup-mati dengan ras "Arya" untuk menguasai dunia. Antisemit Vlkisch ini, berbeda dengan antisemit Kristen. Yahudi dipandang lebih sebagai "ras" ketimbang sebagai agama. Dalam pidatonya sebelum Reichstag pada tahun 1895, salah satu pemimpin vlkisch bernama Hermann Ahlwardt menyebut orang-orang Yahudi sebagai "predator" dan "basil kolera" yang harus "dimusnahkan" demi kebaikan rakyat Jerman. Dalam buku laris tahun 1912 berjudul Wenn ich der Kaiser wr (Jika Aku Seorang Kaiser), Heinrich Class, salah satu pemimpin vlkisch, menyarankan agar semua Yahudi di Jerman harus dihapuskan status kewarganegaraan Jermannya dan ditetapkan sebagai Fremdenrecht (status alien). Class juga mendesak agar semua Yahudi ditiadakan dari semua aspek kehidupan Jerman, dilarang memiliki tanah sendiri, memegang jabatan publik, atau berpartisipasi dalam jurnalisme, perbankan, dan profesi liberal lainnya. Class mendefenisikan seseorang dianggap sebagai Yahudi jika menganut agama Yahudi sejak Kekaisaran Jerman diproklamirkan pada tahun 1871, atau siapapun yang setidaknya memiliki satu garis leluhur Yahudi. Selama masa Kekaisaran Jerman, gagasan vlkisch ini dan rasisme "ilmiah" yang berkaitan dengan Yahudi telah menjadi hal yang umum dan diterima secara luas di Jerman.Partai Buruh Jerman Sosialis Nasional didirikan pada tahun 1919 sebagai cabang dari gerakan vlkisch, dan partai ini juga mengadopsi faham antisemit mereka.

Perubahan IPTEK yang luar biasa di Jerman pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 serta diringi dengan pertumbuhan negara kesejahteraan, menciptakan harapan luas bahwa "utopia" sudah dekat dan semua permasalahan sosial akan terselesaikan. Pada saat yang sama, didukung oleh prestise ilmu pengetahuan, di kalangan elit Jerman berkembang anggapan yang menyatakan bahwa beberapa ras secara biologis lebih "berharga" dibandingkan dengan ras lainnya. Dalam esainya pada tahun 1989, sejarawan Detlev Peukert menyatakan bahwa Holocaust tidak semata-mata berawal dari antisemitisme, namun merupakan produk dari "radikalisme kumulatif" yang kemudian menghasilkan genosida. Setelah Perang Dunia I, didukung oleh sedang berlangsungnya Depresi Besar, permasalahan sosial yang terjadi di Jerman jauh lebih besar daripada yang diperkirakan oleh birokrat sebelumnya. Permasalahan ini semakin memperkuat anggapan bahwa beberapa kaum yang "tidak layak" harus disingkirkan untuk mencapai kesejahteraan. Kalangan medis di Jerman mengusulkan upaya pemusnahan orang-orang dengan cacat fisik dan mental untuk menghemat anggaran kesehatan negara. Pada saat Hitler merebut kekuasaan pada tahun 1933, usulan untuk menyelamatkan ras yang "berharga" dengan cara membersihkan ras "yang tidak layak" ini semakin mengemuka.

Penganiayaan dan eksodus dari 525.000 umat Yahudi Jerman dimulai setelah Nazi berkuasa pada tanggal 30 Januari 1933. Dalam Mein Kampf, Hitler secara terbuka telah mengungkapkan kebenciannya terhadap Yahudi, dan menyatakan niatnya untuk mengusir mereka dari kehidupan politik, intelektual, dan budaya Jerman. Hitler memang tidak menulis kalau ia akan berusaha memusnahkan Yahudi, namun dilaporkan bahwa ia telah mengungkapkannya secara pribadi. Pada awal tahun 1922, Hitler mengatakan kepada wartawan Mayor Joseph Hell:

Setelah saya berkuasa, tugas saya yang pertama dan terutama sekali adalah memusnahkan orang Yahudi. Saya akan membangun tiang gantungan di Munich, kemudian orang-orang Yahudi akan digantung tanpa pandang bulu, dan mereka akan tetap digantung sampai mereka membusuk, dan lalu kota-kota lain akan menyusul, sampai keseluruhan Jerman telah benar-benar bersih dari orang-orang Yahudi.

Pada awal Reich Ketiga, pemimpin Nazi telah memproklamirkan keberadaan Volksgemeinschaft (Komunitas Rakyat). Kebijakan ini membagi penduduk menjadi dua kategori, yaitu Volksgenossen ("Kamerad Nasional"), kategori yang tergolong ke dalam Volksgemeinschaft, dan Gemeinschaftsfremde ("Komunitas Alien"), kategori yang tidak tergolong ke dalam Komunitas Rakyat. Kebijakan Nazi tentang represi membagi musuh menjadi tiga jenis, yakni musuh "rasial" seperti Yahudi dan Gipsi yang dipandang sebagai musuh karena "darah" mereka, musuh politik seperti Marxis, liberal, Kristen dan "reaksioner", dan musuh moral seperti homoseksual, para penjahat dan pelacur. Dua yang terakhir dipandang sebagai musuh karena ketidakpatuhan mereka pada Volksgenossen. Dua kelompok tersebut akan dikirim ke kamp konsentrasi untuk "dididik ulang", namun beberapa musuh moral harus disterilkan karena dianggap "bergenetik rendah". Musuh "rasial" seperti Yahudi, tidak diperkenankan untuk menjadi anggota Volksgemeinschaft, oleh sebab itu mereka harus dibinasakan secara total dari kehidupan masyarakat. Sejarawan Jerman Detlev Peukert mengungkapkan bahwa "tujuan Sosialis Nasional adalah sebuah utopia Volksgemeinschaft, semuanya benar-benar di bawah pengawasan polisi, setiap orang yang berniat ataupun berperilaku nonkonformis, akan dikunjungi oleh teror." Peukert juga mengutip dokumen kebijakan tentang "Perlakuan Komunitas Alien", yang menyatakan bahwa: "orang-orang yang ... tidak mampu memenuhi persyaratan untuk menjadi Volksgenossen, akan ditempatkan di bawah pengawasan polisi, dan jika tidak memenuhi juga, akan dikirim ke kamp konsentrasi".

Menjelang pemilu Reichstag pada bulan Maret 1933, Nazi mengintensifkan kampanye kekerasan mereka terhadap oposisi. Dengan kerjasama dari pemerintah setempat, mereka mendirikan kamp-kamp konsentrasi untuk penahanan di luar hukum bagi musuh-musuh mereka. Salah satu kamp yang dibangun pertama kali adalah kamp konsentrasi Dachau, yang dibuka pada tanggal 9 Maret 1933. Selama bulan-bulan pertama operasinya, Dachau dipenuhi oleh para pendukung Komunis dan Demokratik Sosial. Pada awalnya, pengelolaan kamp-kamp ini dijalankan oleh organisasi paramiliter SA dan SS, namun pada pertengahan 1934, pengelolaannya secara eksklusif dijalankan oleh SS. Tujuan utama dari kamp-kamp konsentrasi ini adalah untuk menjebloskan dan meneror orang-orang Jerman yang tidak memenuhi syarat atau tidak bersedia bergabung dengan Volksgemeinschaft. Mereka dikirim ke kamp-kamp konsentrasi dan kemudian dibagi menjadi kelompok yang "bisa dididik" (ada kemungkinan untuk dimasukkan ke dalam Volksgemeinschaft) dan kelompok "biologis kotor" (harus disterilkan atau disiksa dengan disuruh bekerja paksa sampai mati).

Sepanjang tahun 1930-an, hak-hak hukum, ekonomi dan sosial orang-orang Yahudi terus dibatasi. Jika secara hukum seseorang diidentifikasi sebagai Yahudi, maka Nazi akan menganggap keturunannya juga Yahudi. Bahkan keturunannya yang sudah berpindah agama dari Yahudi setelah tanggal 18 Januari 1871 (pendirian Kekaisaran Jerman) juga dianggap sebagai Yahudi. Sejarawan Israel Saul Friedlnder menyatakan bahwa "Nazi mengakui ke-Jerman-an orang-orang berdasarkan kemurnian darah dan dari keasliannya di tanah Jerman yang suci." Pada tanggal 1 April 1933, terjadi pemboikotan terhadap bisnis warga Yahudi, yang menjadi kampanye antisemitisme Nazi pertama. Aksi ini pada awalnya direncanakan akan berlangsung selama seminggu, namun kemudian dibatalkan setelah satu hari karena kurangnya dukungan rakyat. Pada tahun 1933, serangkaian undang-undang disahkan. Undang-undang ini antara lain berisikan "paragraf Arya", yang mengecualikan orang-orang Yahudi dari sektor-sektor penting negara. Hukum ini selanjutnya dikenal dengan Hukum untuk Pemulihan Layanan Sipil Profesional, yang merupakan hukum antisemit pertama yang disahkan dalam masa Reich Ketiga. Hukum-hukum selanjutnya mulai bermunculan satu persatu; Hukum Dokter; dan Hukum pertanian, yang melarang orang Yahudi untuk memiliki peternakan atau ikut serta dalam sektor pertanian. Pengacara-pengacara Yahudi dipecat. Di Dresden, pengacara Yahudi diseret keluar dari kantornya dan dipukuli. Atas desakan dari Presiden Hindenburg, Hitler menambahkan pengecualian yang mengizinkan para Pegawai Negeri Sipil veteran Perang Dunia I, atau yang ayah dan putranya pernah melayani Jerman dalam perang, untuk tetap menempati jabatannya. Namun Hitler mencabut pengecualian ini pada tahun 1937. Orang-orang Yahudi dikeluarkan dari sekolah-sekolah dan universitas (Undang-Undang untuk Mencegah Kesesakan di Sekolah), dari Asosiasi Jurnalis, dan dari jabatan pemilik atau editor surat kabar.

Pada bulan Juli 1933, Undang-Undang untuk Pencegahan Penyakit yang mewajibkan penderitanya untuk disterilisasi disahkan. Akibatnya, lebih dari 400.000 penderita cacat mental dan fisik dikirim ke kamp-kamp konsentrasi untuk "dibersihkan". Pada tahun 1935, Hitler memperkenalkan Hukum Nuremberg, yang menyatakan bahwa: Yahudi dilarang menikah atau berhubungan seks dengan "bangsa Arya" (Hukum untuk Melindungi Darah dan Kehormatan Jerman). Yahudi Jerman dilucuti kewarganegaraannya dan semua hak-hak sipil mereka dicabut. Hitler menggunakan istilah "Hukum Darah" untuk menggambarkan "upaya hukum guna memecahkan masalah Yahudi, dan jika masih mengalami kegagalan, maka akan ditransfer pada solusi akhir dari Bagian Sosialis Nasional." Hitler mengatakan bahwa jika "masalah Yahudi" ini tidak dapat terselesaikan dengan undang-undang, maka "selanjutnya harus diserahkan secara hukum kepada Partai Sosialis Nasional untuk dilakukan solusi akhir."Solusi akhir atau "Endlsung" ini menjadi standar eufemisme Nazi untuk menyebut tindakan pemusnahan orang-orang Yahudi. Pada bulan Januari 1939, Hitler mengatakan dalam sebuah pidato publik: "Jika Yahudi yang berada di dalam ataupun di luar Eropa sekali lagi berhasil menjerumuskan negara ke dalam perang dunia, maka konsekuensinya para Yahudi harus dimusnahkan dari Eropa." Kutipan dari pidato ini digunakan untuk menyimpulkan film propaganda Nazi tahun 1940 berjudul The Eternal Jew (Der ewige Jude), yang bertujuan untuk memberikan alasan dan pembenaran untuk memusnahkan orang-orang Yahudi dari Eropa.

Intelektual Yahudi adalah orang pertama yang meninggalkan Jerman. Filsuf Walter Benjamin berangkat ke Paris pada tanggal 18 Maret 1933. Novelis Leon Feuchtwanger pergi ke Swiss. Konduktor Bruno Walter melarikan diri setelah diberitahu bahwa gedung Berlin Philharmonic akan dibakar jika ia melakukan konser di sana. Frankfurter Zeitung menjelaskan pada tanggal 6 April bahwa Walter dan rekan konduktornya, Otto Klemperer, terpaksa mengungsi karena pemerintah tidak mampu untuk melindungi mereka dari suasana hati publik Jerman yang telah diprovokasi oleh "likuidator artistik Yahudi."Albert Einstein berangkat ke Amerika Serikat pada tanggal 30 Januari 1933. Setelah itu dia kembali ke Ostende di Belgia dan tidak pernah menginjakkan kaki lagi di Jerman. Einstein menyebut peristiwa itu sebagai "kegilaan psikis massa". Ia dikeluarkan dari Kaiser Wilhelm Society dan kewarganegaraan Jermannya dicabut. Saat Nazi menaklukkan Austria pada tahun 1938, Sigmund Freud dan keluarganya melarikan diri dari Wina ke Inggris. Saul Friedlnder mengungkapkan bahwa ketika Max Liebermann, presiden kehormatan di Akademi Seni Prusia, mundur dari jabatannya, tidak satupun dari koleganya yang mengungkapkan kata-kata simpati, dan dia masih dikucilkan pada saat kematiannya dua tahun kemudian. Ketika polisi tiba pada tahun 1943 untuk menangkap istri Liebermann yang berusia 85 tahun, ia memilih untuk bunuh diri dengan cara overdosis daripada harus dibawa ke kamp.

Pada tanggal 7 November 1938, seorang Yahudi minor bernama Herschel Grnspan membunuh diplomat Jerman Nazi Ernst vom Rath di Paris. Insiden ini digunakan oleh Nazi sebagai alasan untuk melakukan kekerasan dalam skala besar terhadap Yahudi Jerman. Apa yang oleh Nazi disebut sebagai "kemarahan publik" sebenarnya merupakan gelombang pogrom yang dihasut oleh partai Nazi, dan dilaksanakan oleh personel SA dan afiliasinya di seluruh Jerman Nazi, termasuk Austria dan Sudetenland. Progrom ini dikenal dengan sebutan Reichskristallnacht ("Malam Kaca Pecah", harfiah: "Malam Kristal), atau pogrom November. Orang-orang Yahudi diserang dan properti mereka dirusak, lebih dari 7.000 toko Yahudi dan 1.668 sinagog (hampir semua sinagog di Jerman) rusak atau hancur. Korban tewas dianggap jauh lebih tinggi daripada jumlah resmi yang menyatakan bahwa 91 orang tewas. 30.000 Yahudi dikirim ke kamp-kamp konsentrasi seperti Dachau, Sachsenhausen, Buchenwald, dan Oranienburg, Di kamp-kamp ini, mereka dikurung selama beberapa minggu, dan dilepaskan setelah mereka bisa membuktikan bahwa mereka akan pindah ke luar negeri dalam waktu dekat, atau menyerahkan kepemilikan properti mereka kepada Nazi. Menanggapi Kristallnacht, pada tanggal 11 November 1938, Nazi mengesahkan "Peraturan Terhadap Kepemilikan Yahudi atas Senjata", yang menyatakan bahwa adalah ilegal bagi orang-orang Yahudi untuk memiliki senjata api ataupun senjata lainnya. Selain itu, Yahudi Jerman secara kolektif bertanggung jawab atas ganti rugi kerusakan material yang ditimbulkan oleh pogrom, yaitu sebesar ratusan ribu Reichsmark, dan selanjutnya harus membayar "pajak perdamaian" lebih dari satu miliar Reichsmark.

Setelah pogrom, emigrasi Yahudi dari Jerman semakin meningkat, sedangkan kehidupan publik Yahudi di Jerman sudah tidak terlihat lagi keberadaannya.

Sebelum perang, Nazi memutuskan untuk mendeportasi secara besar-besaran Yahudi Jerman dari Eropa.[65] Rencana untuk merebut kembali bekas koloni Jerman seperti Tanganyika dan Afrika Barat Daya untuk dijadikan pemukiman Yahudi dihentikan oleh Hitler. Ia berpendapat bahwa "tidak satupun tempat pertumpahan darah heroik Jerman yang pantas sebagai tempat tinggal bagi musuh terburuk Jerman". Berbagai upaya diplomatik juga dilakukan untuk meyakinkan kekuatan kolonial lainnya seperti Britania Raya dan Perancis agar bersedia untuk menampung para Yahudi di koloni-koloni mereka. Wilayah-wilayah yang dipertimbangkan untuk merelokasi orang-orang Yahudi antara lain Palestina (jajahan Britania Raya),Abyssinia (jajahan Italia), Rhodesia Britania,Madagaskar Perancis, dan Australia.

Dari daerah-daerah tersebut, Madagaskar adalah yang paling serius dipertimbangkan. Heydrich menyebutnya sebagai "Rencana Madagaskar; solusi akhir teritorial". Pulau ini dipertimbangkan karena merupakan daerah terpencil, dan kondisi yang tidak menguntungkan di pulau itu akan mempercepat kematian para Yahudi. Rencana ini disetujui oleh Hitler pada tahun 1938, dan pengelolaannya diserahkan kepada Eichmann's, namun rencana ini ditinggalkan setelah terjadinya pembunuhan massal terhadap orang-orang Yahudi pada tahun 1941. Meskipun sia-sia, rencana ini secara tidak langsung telah menjadi langkah psikologis yang berperan penting dalam perjalanan menuju Holocaust. Akhir dari Rencana Madagaskar diumumkan pada tanggal 10 Februari 1942. Departemen Luar Negeri Jerman memberikan penjelasan resmi bahwa sehubungan dengan adanya perang dengan Uni Soviet, maka orang-orang Yahudi akan "dikirim ke timur".[73]

Para birokrat Nazi juga mengembangkan rencana untuk mendeportasi orang-orang Yahudi Eropa ke Siberia.[74]Palestina adalah satu-satunya lokasi yang sukses membuahkan hasil yang signifikan terkait dengan rencana relokasi Nazi. Rencana untuk merelokasi Yahudi Jerman ke Palestina disepakati oleh Federasi Zionis Jerman (die Zionistische Vereinigung fr Deutschland) dengan pemerintah Nazi melalui Perjanjian Haavara pada tahun 1933. Perjanjian ini mengakibatkan berpindahnya sekitar 60.000 Yahudi dari Jerman ke Palestina sebelum meletusnya Perang Dunia II.

Permasalahan mengenai perlakuan terhadap orang-orang Yahudi menjadi salah satu urusan yang mendesak bagi Nazi setelah mereka menyerbu bagian barat Polandia pada bulan September 1939, yang merupakan kediaman bagi sekitar dua juta orang Yahudi. Republik Polandia Kedua dibagi antara Jerman Nazi dan Uni Soviet melalui Pakta Molotov-Ribbentrop. Jerman menganeksasi Polandia bagian tenggara, sedangkan bagian timur laut dikuasai oleh Pemerintahan Umum yang dikelola oleh Hans Frank. Invasi ini menyebabkan Inggris, Australia, Selandia Baru, Kanada, Afrika Selatan, dan Perancis menyatakan perang terhadap Jerman yang kemudian memicu meletusnya Perang Dunia II.

Tangan kanan Himmler, Reinhard Heydrich, menganjurkan untuk mengumpulkan semua orang Yahudi Polandia di ghetto-ghetto yang dibangun di kota-kota besar. Di tempat ini, mereka akan dipekerjakan untuk kepentingan industri perang Jerman. Ghetto ini dibangun di kota-kota yang terletak di persimpangan kereta api untuk memberikan "kemungkinan kontrol yang lebih baik dan kemudahan deportasi di kemudian hari." Saat diinterogasi pada tahun 1961, Adolf Eichmann mengungkapkan bahwa kalimat "deportasi di kemudian hari" itu merujuk kepada "pemusnahan fisik".

Saya tidak meminta apa-apa, kecuali bahwa semua Yahudi harus lenyap.

Hans Frank, gubernur Nazi di Polandia.

Pada bulan September, Himmler mengangkat Heydrich menjadi kepala Kantor Keamanan Utama Reich (Reichssicherheitshauptamt atau RSHA). Badan ini bertugas untuk mengawasi pekerjaan SS, Polisi Keamanan (SD), dan Gestapo di Polandia yang diduduki Jerman, dan melaksanakan kebijakan terhadap orang-orang Yahudi yang dijelaskan dalam laporan Heydrich. Pembunuhan terorganisir pertama Yahudi oleh pasukan Jerman terjadi selama Operasi Tannenberg. Kemudian, orang-orang Yahudi digiring ke ghetto, terutama yang berada di daerah Pemerintah Umum di Polandia tengah. Di sana, mereka dipaksa untuk bekerja di bawah pengawasan dari Kantor Tenaga Kerja Reich yang dipimpin oleh Fritz Sauckel. Di ghetto tersebut, ribuan Yahudi meninggal akibat penganiayaan, kelaparan, penyakit, dan kelelahan, meskipun saat itu masih belum ada kebijakan mengenai program pembunuhan massal sistematis. Bagaimanapun juga, Nazi menganggap bahwa kerja paksa merupakan salah satu bentuk pemusnahan massal. Istilah Vernichtung durch Arbeit ("memusnahkan melalui kerja paksa") sering digunakan untuk menggambarkan peristiwa ini.

Meskipun tekad SS untuk memulai kebijakan pembunuhan terhadap semua orang Yahudi di bawah kendali Jerman sudah jelas, masih ada penentangan terhadap kebijakan ini dalam rezim Nazi, meskipun motifnya adalah ekonomi, bukan kemanusiaan. Hermann Gring, orang yang memiliki kontrol keseluruhan terhadap industri perang dan Departemen Ekonomi tentara Jerman, berpendapat bahwa angkatan kerja Yahudi yang tersedia begitu banyak (lebih dari satu juta tenaga kerja berbadan sehat) adalah aset yang terlalu berharga untuk dimusnahkan disaat Jerman sedang bersiap untuk menyerang Uni Soviet.

Ketika Jerman menduduki Norwegia, Belanda, Luksemburg, Belgia, dan Perancis pada tahun 1940, serta Yugoslavia dan Yunani pada tahun 1941, kebijakan antisemitisme juga diperkenalkan ke negara-negara ini, meskipun tingkat respon dan penerimaannya bervariasi antar negara, sesuai dengan keadaan politik lokal. Yahudi telah dihapus dari kehidupan ekonomi dan budaya dan tunduk pada batas-batas hukum tertentu, tapi deportasi fisik tidak terjadi di sebagian besar negara yang ditaklukkan oleh Jerman sebelum tahun 1942. Rezim Vichy yang ditaklukkan di Perancis ikut berkolaborasi dalam menganiaya orang-orang Yahudi Perancis. Sekutu Jerman; Italia, Hungaria, Rumania, Bulgaria, dan Finlandia dipaksa untuk menerapkan kebijakan antisemitisme, namun sebagian besarnya tidak mau, sehingga Jerman memaksa mereka untuk menerapkannya. Selama perang, Yahudi dan orang Roma dijebloskan ke kamp konsentrasi Banjica di Belgrade, terutama sekali para komunis Serbia, royalis dan patriot lainnya yang menolak penjajahan Jerman. Rezim boneka Jerman di Kroasia mulai aktif dalam menganiaya orang-orang Yahudi atas inisiatif sendiri, sehingga Keputusan Hukum untuk Nasionalisasi Properti dan Perusahaan Yahudi di deklarasikan pada tanggal 10 Oktober 1941 di Negara Independen Kroasia.

Pada tanggal 28 September 1939, Jerman berhasil memperoleh kontrol atas wilayah Lublin melalui kesepakatan Jerman-Soviet dengan menukarnya dengan Lithuania. Berdasarkan ketentuan Rencana Nisko, Jerman diizinkan untuk mendirikan reservasi Lublin-Lipowa di wilayah tersebut. Pembangunan reservasi ini dikepalai oleh Adolf Eichmann, yang diberi tugas untuk memusnahkan orang Yahudi dari seluruh Jerman, Austria, dan Protektorat Bohemia dan Moravia.[81] Nazi mengirimkan Yahudi pertama kali ke Lublin pada tanggal 18 Oktober 1939. Kereta pertama yang mengangkut Yahudi terdiri dari orang-orang Yahudi yang berasal dari Austria dan Protektorat Bohemia dan Moravia. Pada tanggal 30 Januari 1940, sebanyak 78.000 Yahudi dari Jerman, Austria dan Cekoslovakia telah dideportasi ke Lublin. Selanjutnya, tanggal 12 dan 13 Februari 1940, orang-orang Yahudi dari Pomerania menyusul di deportasi ke Lublin. Pomerania adalah wilayah pertama yang mendeklarasikan dirinya sebagai "judenrein" ("bebas Yahudi").[84] Pada tanggal 24 Maret 1940, Hermann Gring menyatakan bahwa Rencana Nisko akan diakhiri sepenuhnya pada bulan April. Pada saat Rencana Nisko dihentikan, jumlah orang Yahudi yang telah diangkut ke Nisko mencapai 95.000 orang, banyak di antaranya yang tewas karena kelaparan.[86] Pada bulan Juli 1940, karena kesulitan untuk menggalakkan pertambahan populasi di Pemerintahan Umum, Hitler memutuskan bahwa deportasi Yahudi dihentikan untuk sementara waktu.[87]

Pada bulan Oktober 1940, Gauleiter Josef Brckel dan Robert Heinrich Wagner ditugaskan untuk mengawasi Operasi Brckel, yaitu pengusiran orang-orang Yahudi ke wilayah Perancis yang tidak ditaklukkan Jerman. Hanya orang-orang Yahudi yang berasal dari pernikahan campuran yang tidak diusir. Sekitar 6.500 orang Yahudi yang menjadi target Operasi Brckel diberikan peringatan untuk meninggalkan Jerman selama dua jam pada malam tanggal 22-23 Oktober 1940, lebih dari itu, mereka akan ditangkap. Sembilan kereta yang digunakan untuk mengangkut orang-orang Yahudi memasuki Perancis "tanpa memberikan peringatan kepada pihak yang berwenang Perancis", sehingga mereka tidak senang menerima para pendatang Yahudi. Perancis tidak mengizinkan para pendatang Yahudi membawa barang-barang mereka, sehingga barang-barang tersebut akhirnya disita oleh pemerintah Jerman. Menteri Luar Negeri Jerman, Joachim von Ribbentrop, mengeluhkan lambatnya kinerja pemerintah Vichy dalam menangani para Yahudi buangan. Sebagai hasilnya, orang-orang Yahudi yang terusir ditahan oleh otoritas Vichy di kamp-kamp di Gurs, Rivesaltes dan Les Milles sambil menunggu kesempatan untuk mengembalikan mereka ke Jerman.

Sepanjang tahun 1940 dan 1941, sejumlah besar pembunuhan terhadap orang-orang Yahudi di wilayah Polandia yang diduduki Jerman terus berlangsung, dan pendeportasian Yahudi ke wilayah Pemerintahan Umum juga terus dilakukan. Deportasi Yahudi dari Jerman, terutama Berlin, belum selesai sampai tahun 1943 (banyak Yahudi di Berlin yang mampu bertahan hidup dalam persembunyian). Pada bulan Desember 1939, sekitar 3,5 juta orang Yahudi sudah dideportasi ke wilayah-wilayah di Pemerintahan Umum.

Dari awal pendirian kamp konsentrasi pada masa Reich Ketiga, sebenarnya kamp-kamp tersebut dimaksudkan sebagai tempat penahanan. Meskipun angka kematian di kamp-kamp konsentrasi itu juga tinggi, dengan angka kematian mencapai 50%, namun kamp-kamp tersebut tidak dirancang sebagai pusat pembunuhan massal. Pada tahun 1942, enam kamp pemusnahan besar telah didirikan di wilayah Polandia yang diduduki Nazi, yang dibangun semata-mata untuk tujuan pembunuhan massal. Setelah tahun 1939, kamp-kamp ini semakin dipusatkan menjadi tempat di mana orang-orang Yahudi dan tawanan perang (POW) dibunuh atau dipekerjakan sebagai buruh budak, dan pada akhirnya banyak yang kekurangan gizi dan disiksa. Diperkirakan bahwa Jerman membangun 15.000 kamp dan sub-kamp di negara-negara yang mereka taklukkan, sebagian besar di Eropa Timur.[90][91] Kamp-kamp baru didirikan di wilayah-wilayah yang memiliki banyak penganut Yahudi, intelektual Polandia, komunis, atau populasi Roma dan Sinti, termasuk di Jerman. Transportasi tahanan sering dilakukan dalam kondisi yang mengerikan dengan menggunakan kereta barang, di mana banyak yang meninggal sebelum mencapai tujuan mereka.

Pemusnahan melalui kerja paksa adalah salah satu kebijakan genosida sistematis yang diterapkan oleh Jerman, di mana penghuni kamp akan dipekerjakan sampai mati, atau bekerja sampai kelelahan, dan kemudian dijebloskan ke dalam kamar gas atau ditembak mati. Pekerja budak digunakan untuk memproduksi logistik perang, seperti roket V-2 di Mittelbau-Dora, dan berbagai produksi senjata di sekitar kompleks kamp konsentrasi Mauthausen-Gusen. Setelah para tahanan memasuki kamp, beberapa kamp akan mentato para tahanan dengan sebuah ID tahanan. Para tahanan dipekerjakan selama 12 sampai 14 jam perhari, dengan makanan yang tidak memadai, sehingga banyak di antara mereka yang sekarat atau meninggal saat bekerja.[93]

Setelah menginvasi Polandia, Nazi mendirikan ghetto sebagai tempat bagi orang-orang Yahudi dan Romani "dipenjarakan" sebelum mereka dikirim ke kamp-kamp pemusnahan. Proses pertama yang diketahui dalam pendirian ghetto-ghetto ini berasal dari surat bertanggal 29 September 1939 dari Heydrich kepada kepala Einsatzgruppen. Masing-masing ghetto dijalankan oleh Judenrat (dewan Yahudi) Jerman sebagai pemimpin komunitas Yahudi, yang bertanggung jawab untuk mengelola aktivitas di ghetto sehari-hari, termasuk distribusi makanan, air, pemanas, obat-obatan, dan tempat tinggal. Strategi dasar yang dianut oleh dewan Yahudi dalam mengelola ghetto salah satunya adalah dengan mencoba untuk meminimalkan kerugian, terutama dengan bekerja sama dengan pihak berwenang Nazi (atau penggantinya), meskipun fasilitas yang diberikan sangat mengerikan.

Judenrat juga ditugaskan untuk mengatur proses deportasi ke kamp-kamp pemusnahan, termasuk memberikan nama-nama kelompok yang akan di deportasi. Para anggota Judenrat ini mengupayakan berbagai cara untuk menyelamatkan komunitasnya, seperti dengan memperlambat, penyuapan, menghalang-halangi, memohon, dan berargumentasi, namun pada akhirnya keputusan tetap harus dibuat. Beberapa pihak, seperti Chaim Rumkowski, berpendapat bahwa tanggung jawab mereka adalah untuk menyelamatkan orang-orang Yahudi yang bisa diselamatkan, dan oleh karena itu orang lain harus dikorbankan. Pemimpin Judenrat seperti Dr. Joseph Parnas menolak untuk menyerahkan daftar, alhasil, ia ditembak mati. Pada tanggal 14 Oktober 1942, para Judenrat di Byaroza memilih untuk bunuh diri daripada harus bekerja sama dengan Nazi.

Ghetto Warsawa adalah ghetto yang terbesar, dengan 380.000 penghuni, diikuti oleh Ghetto d (160.000). Michael Berenbaum menyatakan bahwa ghetto-ghetto ini pada dasarnya adalah sebuah penjara yang sangat sesak, dan digunakan sebagai alat "pembunuhan secara lambat dan pasif." Meskipun Ghetto Warsawa ditempati oleh hampir 400.000 orang (30% dari penduduk Warsawa pada saat itu), lokasinya hanya menempati 2,4% dari luas kota, atau rata-rata 9,2 orang per kamar.[99]

Dari tahun 1940 sampai 1942, kelaparan dan penyakit, terutama tifus, telah menewaskan ratusan ribu nyawa di ghetto. Lebih dari 43.000 penduduk ghetto Warsawa meninggal di sana pada tahun 1941,[99] dan lebih dari setengah penduduk di ghetto Theresienstadt meninggal pada tahun 1942.

Orang Jerman datang, polisi, dan mereka mulai memukul-mukul rumah: "Raus, raus, raus, Juden raus." ... Seorang bayi mulai menangis ... Bayi lainnya mulai menangis. Jadi ibu memberi bayinya minum untuk tetap tenang ... [Ketika polisi pergi], saya mengatakan kepada ibu untuk keluar. Dan satu bayi sudah tewas ... karena takut, sang ibu [telah] membekap bayinya sendiri.

Himmler memerintahkan dimulainya deportasi pada tanggal 19 Juli 1942, dan tiga hari kemudian, deportasi dari Ghetto Warsawa dimulai. Selama 52 hari berikutnya, hingga tanggal 12 September, sekitar 300.000 orang dari Warsawa telah diangkut dengan kereta barang ke kamp pemusnahan Treblinka. Banyak ghetto lainnya yang dikosongkan setelahnya.

Pemberontakan ghetto pertama terjadi pada bulan September 1942 di kota kecil achwa di sebelah tenggara Polandia. Upaya perlawanan bersenjata di ghetto-ghetto yang lebih besar terjadi pada tahun 1943, seperti Pemberontakan Ghetto Warsawa dan Pemberontakan Ghetto Biaystok, namun upaya itu gagal dalam melawan kekuatan militer besar Nazi, dan orang-orang Yahudi yang tersisa entah dibunuh atau dideportasi ke kamp kematian.

Invasi Jerman ke Uni Soviet pada bulan Juni 1941 membuka fase baru dalam perkembangan Holocaust. Holocaust diintensifkan setelah Nazi menduduki Lithuania, yang memiliki hampir 80% penduduk Yahudi dan hampir semuanya dibasmi sebelum akhir tahun. Wilayah Soviet yang diduduki pada awal tahun 1942 juga mencakup Belarus, Estonia, Latvia, Lithuania, Ukraina, dan Moldova dan wilayah Rusia paling barat di garis Leningrad-Moscow-Rostov. Di wilayah-wilayah ini terdapat sekitar tiga juta orang Yahudi, termasuk ratusan ribu yang melarikan diri dari Polandia pada tahun 1939.

Penduduk lokal di beberapa wilayah Soviet yang diduduki Jerman juga ikut berpartisipasi aktif dalam pembunuhan orang Yahudi dan yang lainnya. Di Lithuania, Latvia dan Ukraina barat, penduduk setempat sangat terlibat dalam pembunuhan orang-orang Yahudi dari awal pendudukan Jerman.Arajs Kommando Latvia adalah contoh unit militer setempat yang berpartisipasi aktif dalam pembunuhan ini. Di selatan, penduduk Ukraina membantai sekitar 24.000 orang Yahudi. Selain itu, unit-unit militer di Latvia dan Lithuania meninggalkan negara mereka sendiri dan berpartisipasi dalam pembunuhan Yahudi di Belarus, dan militer Ukraina menjabat sebagai penjaga kamp-kamp konsentrasi dan kematian di Polandia. Milisi Ustae di Kroasia juga melakukan tindakan penganiayaan dan pembunuhan. Pada kenyataannya, Jerman-lah yang mengorganisir dan menyalurkan para "partisipan lokal" ini untuk terlibat dalam Holocaust.

Banyak dari pembunuhan massal tersebut dilakukan di depan umum, suatu perubahan dari praktek sebelumnya. Saksi Jerman untuk pembunuhan ini menekankan adanya partisipasi dari penduduk setempat. Pembantaian yang dilakukan oleh tentara Jerman biasanya dibenarkan dengan alasan untuk menegakkan operasi anti-partisan atau anti-bandit, namun sejarawan Jerman Andreas Hillgruber menyatakan bahwa ini hanyalah alasan untuk memperkecil keterlibatan Tentara Jerman dalam Holocaust di Rusia dan istilah "kejahatan perang" dan "kejahatan kemanusiaan" adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan apa yang mereka lakukan.[105] Hillgruber menegaskan bahwa pembantaian terhadap sekitar 2,2 juta pria, wanita, dan anak-anak yang tak berdaya karena alasan ideologi rasisme tidak mungkin bisa dibenarkan dengan alasan apapun, dan pernyataan jenderal-jenderal Jerman yang mengklaim bahwa Einsatzgruppen diperlukan untuk merespon anti-partisan adalah kebohongan.[106]

Kerjasama militer dengan SS dalam operasi anti-partisan dan anti-Yahudi berlangsung dengan sangat intensif. Pada musim panas 1941, Brigadir Kavaleri SS diperintahkan oleh Hermann Fegelein dalam operasi anti-partisan di Pripyat Marshes yang menewaskan 699 pasukan Tentara Merah, 1.100 partisan dan 14.178 orang Yahudi. Sejarawan Jerman Jrgen Forster, seorang pakar terkemuka yang mengkaji tentang kejahatan perang Wehrmacht berpendapat bahwa Wehrmacht memainkan peran kunci dalam Holocaust, dan adalah hal yang salah jika mengatakan bahwa Holocaust ini semata-mata merupakan "hasil karya" SS. Raul Hilberg mengungkapkan bahwa komandan Einsatzgruppen Jerman adalah warga biasa, sebagian besar berasal dari kalangan profesional, sebagian besar lagi intelektual, dan mereka dilatih untuk menjadi pembunuh yang efisien.

Skala besar pembunuhan orang Yahudi di wilayah-wilayah Soviet yang diduduki Jerman dilaksanakan oleh Einsatzgruppen (regu pembunuh keliling) di bawah komando Heydrich. Hal ini telah dioperasikan dalam skala terbatas di Polandia pada tahun 1939, namun kemudian dioperasikan dalam skala yang lebih besar. Einsatzgruppe A ditugaskan ke wilayah Baltik, Einsatzgruppe B ke Belarus, Einsatzgruppe C ke Ukraina utara dan tengah, dan Einsatzgruppe D ke Moldova, Ukraina selatan, Krimea, dan Kaukasus utara.

Menurut Otto Ohlendorf di persidangannya, "Einsatzgruppen memiliki misi untuk melindungi garis belakang pasukan dengan membunuh orang-orang Yahudi, Gipsi, fungsionaris komunis, komunis aktif, dan semua orang yang akan membahayakan keamanan." Dalam prakteknya, korban-korban mereka hampir semuanya merupakan warga sipil Yahudi (tidak satupun anggota Einsatzgruppe yang tewas selama operasi). Pada bulan Desember 1941, empat Einsatzgruppe yang tercantum di atas telah membunuh masing-masing: 125.000, 45.000, 75.000, dan 55.000 orang, dan total 300.000 orang, terutama dengan cara penembakan atau dengan granat tangan di berbagai lokasi pembunuhan massal di luar kota-kota besar.

Museum Memorial Holocaust Amerika Serikat mengisahkan tentang salah satu korban selamat dari pembantaian Einsatzgruppen di Piryatin, Ukraina, ketika mereka membunuh 1.600 orang Yahudi pada tanggal 6 April 1942, hari kedua Paskah:

Saya melihat mereka melakukan pembunuhan. Pada pukul 5:00 pagi mereka memberi perintah, "Isi lubangnya". Jeritan dan erangan terdengar dari dalam lubang. Tiba-tiba saya melihat tetangga saya Ruderman merangkak dari bawah tanah ... Matanya berdarah dan ia berteriak: " Bunuh saya!" ... Seorang wanita yang telah dibunuh berbaring di kaki saya. Seorang anak lima tahun merangkak keluar dari bawah tubuhnya dan mulai menjerit putus asa. "Mommy!" Hanya itu yang saya lihat, karena kemudian saya jatuh pingsan.

Pembantaian yang paling terkenal dari orang-orang Yahudi di Uni Soviet berlangsung di sebuah jurang yang disebut Babi Yar di luar Kiev, di mana 33.771 orang Yahudi tewas dalam satu operasi pada tanggal 29-30 September 1941. Pembunuhan orang-orang Yahudi di Kiev diputuskan oleh gubernur militer (Mayor-Jenderal Friedrich Eberhardt), Komandan Polisi untuk Tentara Kelompok Selatan (SS-Obergruppenfhrer Friedrich Jeckeln) dan Komandan Einsatzgruppe C Otto Rasch. Pembunuhan dilakukan oleh gabungan pasukan SS, SD dan Polisi Keamanan, serta dibantu oleh polisi Ukraina. Pasukan dari Angkatan Darat ke-6 Wehrmacht memang tidak berpartisipasi dalam pembunuhan, namun mereka memainkan peran kunci dalam mengumpulkan orang-orang Yahudi di Kiev dan mengangkut mereka untuk ditembak mati di Babi Yar.

Pada hari Senin, orang-orang Yahudi dari Kiev dikumpulkan di sebuah pemakaman, berharap akan dinaikkan atau diangkut dengan kereta. Kerumunan tersebut cukup besar, sebagian besar laki-laki, perempuan, dan anak-anak tidak mampu mencari tahu apa yang terjadi hingga terlambat; pada saat mereka mendengar tembakan senapan mesin, tidak ada kesempatan untuk melarikan diri. Semuanya berlarian menyusuri barisan tentara, dan kemudian ditembak. Seorang sopir truk menggambarkan adegan tersebut:

Satu demi satu, mereka harus menanggalkan pakaian mereka; mantel, sepatu, dan juga pakaian dalam ... Setelah telanjang, mereka dipersilakan memasuki jurang yang panjangnya sekitar 150 meter, lebar 30 meter, dan dalam 15 meter ... Ketika mereka sampai di dasar jurang mereka disergap oleh anggota Schutzpolizei dan dipaksa untuk berbaring di atas orang-orang Yahudi yang sudah ditembak ... Seorang polisi datang dan menembak seorang Yahudi di leher dengan senapan mesin ringan ... Saya melihat polisi tersebut berdiri di atas lapisan mayat dan menembak satu demi satu ... Polisi itu berjalan dari mayat orang-orang Yahudi yang telah dieksekusi ke Yahudi berikutnya yang sedang berbaring, dan menembaknya.

Pada bulan Agustus 1941 Himmler melakukan kunjungan ke Minsk. Di sana, ia secara pribadi menyaksikan 100 orang Yahudi yang ditembak di sebuah selokan di luar kota. Peristiwa ini dijelaskan oleh Karl Wolff dalam buku hariannya: "Wajah Himmler menghijau. Dia mengeluarkan sapu tangan dan mengusap pipinya yang terkena cipratan sepotong otak. Kemudian ia muntah." Setelah tenang, dia mengajari anggota SS untuk mematuhi "hukum moral tertinggi Partai" dalam melaksanakan tugas mereka.

Mulai bulan Desember 1939, Nazi memperkenalkan metode baru pembunuhan massal dengan menggunakan gas. Nazi melengkapi van gas eksperimental dengan tabung gas dan sebuah kompartemen bagasi tertutup, yang digunakan untuk membunuh pasien perawatan mental sanatorium di Pomerania, Prusia Timur, dan wilayah Polandia yang diduduki Jerman sebagai bagian dari operasi yang disebut dengan Aksi T4. Di kamp konsentrasi Sachsenhausen, sebuah van besar yang mampu memuat hingga 100 orang digunakan dari bulan November 1941. Van ini juga diperkenalkan di kamp pemusnahan Chemno pada bulan Desember 1941, dan 15 van lainnya dioperasikan oleh Einsatzgruppen di wilayah Soviet yang diduduki Jerman. Van-van ini dioperasikan di bawah pengawasan dari Kantor Keamanan Utama Reich dan digunakan untuk membunuh sekitar 500.000 nyawa, terutama orang-orang Yahudi, orang Rom, dan lain-lain. Penggunaan van-van ini dipantau secara berhati-hati, dan setelah satu bulan pengamatan, sebuah laporan menyatakan bahwa "sembilan puluh tujuh ribu nyawa telah dihabisi dengan menggunakan van tanpa menimbulkan kerusakan pada mesin".

Kebutuhan akan teknik pembunuhan massal baru ini juga diungkapkan oleh Hans Frank, Gubernur Pemerintah Umum, yang menyatakan bahwa kebanyakan orang tidak bisa dengan hanya ditembak. "Kita harus mengambil langkah-langkah, merancang beberapa cara untuk memusnahkan mereka." Masalah tersebut menyebabkan SS melakukan eksperimen pembunuhan dalam skala besar dengan menggunakan gas beracun. Pada akhirnya, Christian Wirth mengungkapkan penemuannya tentang kamar gas.

Konferensi Wannsee diselenggarakan oleh Reinhard Heydrich pada tanggal 20 Januari 1942 di Wannsee, sebuah wilayah di pinggiran kota Berlin, bersama dengan sekitar 15 pemimpin Nazi lainnya serta sejumlah sekretaris negara, pejabat senior, pemimpin partai, perwira SS dan para pemimpin lainnya dari departemen pemerintah yang bertanggung jawab atas kebijakan yang terkait dengan isu-isu Yahudi. Tujuan awal dari pertemuan ini adalah untuk membahas rencana mengenai solusi komprehensif yang berkaitan dengan "permasalahan Yahudi di Eropa". Heydrich menyarankan untuk "melakukan pembunuhan massal di wilayah-wilayah yang diduduki Jerman ... sebagai bagian dari solusi atas permasalahan Yahudi Eropa yang diperintahkan oleh Hitler, dan untuk memastikan bahwa mereka, terutama birokrasi di kementerian, akan berbagi pengetahuan dan tanggung jawab terkait dengan kebijakan ini."

Salinan dari hasil pertemuan yang disusun oleh Eichmann berhasil diselamatkan, namun atas petunjuk dari Heydrich, salinan tersebut ditulis dalam "bahasa eufimistis." Dengan demikian, kata-kata yang tepatnya digunakan dalam pertemuan tersebut tidak diketahui. Bagaimanapun juga, dalam pertemuan tersebut Heydrich mengemukakan idenya mengenai kebijakan emigrasi yang akan digantikan oleh kebijakan mengevakuasi Yahudi ke timur. Hal ini dipandang hanya merupakan solusi sementara yang mengarah pada solusi akhir untuk membinasakan sekitar 11 juta orang Yahudi yang tinggal tidak hanya di wilayah yang diduduki oleh Jerman, namun juga di negara-negara besar di seluruh dunia, termasuk Britania Raya dan Amerika Serikat. Heydrich juga menjelaskan bahwa makna dari Solusi Akhir adalah "orang-orang Yahudi harus dimusnahkan dengan cara mengkombinasikan kerja paksa dan pembunuhan massal."

Para petinggi Nazi diberitahu bahwa terdapat sekitar 2,3 juta orang Yahudi di dalam Pemerintahan Umum, 850.000 di Hungaria, 1,1 juta di negara-negara lainnya yang diduduki Jerman, dan lebih dari 5 juta di Uni Soviet, meskipun 2 juta-nya berada di wilayah yang masih di kuasai oleh Soviet, atau jika ditotalkan, umat Yahudi di Soviet berjumlah sekitar 6,5 juta. Orang-orang Yahudi ini akan diangkut dengan kereta api ke kamp-kamp pemusnahan (Vernichtungslager) di Polandia, dan sebagian besar dari mereka akan digas sekaligus. Di beberapa kamp, sepertidi Auschwitz, mereka yang cocok untuk dipekerjakan akan tetap hidup untuk sementara waktu, tetapi pada akhirnya semuanya tetap akan dibunuh. Perwakilan perusahaan Gring, Dr. Erich Neumann, mendapatkan hak terbatas untuk menggunakan beberapa tahanan sebagai pekerja industri.

Dalam buku karangannya tahun 1983 yang berjudul Popular Opinion and Political Dissent in the Third Reich, Ian Kershaw meneliti mengenai Alltagsgeschichte (sejarah kehidupan sehari-hari) di Bavaria (Bayern) selama periode Nazi. Kershaw berpendapat bahwa sudut pandang publik Bavaria yang paling umum adalah ketidakpedulian terhadap apa yang terjadi pada orang-orang Yahudi. Kershaw menyatakan bahwa sebagian besar orang-orang Bavaria tahu mengenai Holocaust, namun pada kenyataaannya mereka jauh lebih peduli terhadap peperangan daripada peduli terhadap "Solusi Akhir untuk Permasalahan Yahudi" Nazi. Kershaw menggambarkan kengerian Holocaust dengan menganalogikan bahwa "jalan menuju Auschwitz dibangun oleh kebencian, dan diaspali dengan ketidakpedulian".

Pendapat Kershaw mengenai reaksi kebanyakan orang-orang Bavaria yang dikatakan bersikap "acuh tak acuh" dikecam oleh sejarawan Israel Otto Dov Kulka, seorang ahli opini publik Jerman Nazi, dan sejarawan Kanada Michael Kater. Kater berpendapat bahwa Kershaw meremehkan tingkat antisemitisme yang populer di Jerman, dan meskipun ia mengakui bahwa sebagian besar tindakan antisemit "spontan" Jerman Nazi dilakukan secara bertahap, namun tindakan ini tetap saja melibatkan sebagian besar warga Jerman, dan adalah hal yang salah jika menganggap bahwa sikap antisemit ekstrim Nazi hanya semata-mata berasal dari atas. Kulka berpendapat bahwa kebanyakan orang Jerman lebih bersikap antisemit dibandingkan dengan yang Kershaw gambarkan dalam Popular Opinion and Political Dissent, dan bahwa ketimbang menyebutnya sebagai "ketidakpedulian", istilah "keterlibatan pasif" adalah istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan reaksi dari rakyat Jerman.

Dalam sebuah penelitian yang khusus mengkaji tentang pandangan Yahudi Jerman dalam menentang rezim Nazi, sejarawan Jerman Christof Dipper dalam esainya tahun 1983 yang berjudul "Der Deutsche Widerstand und die Juden ("Perlawanan Jerman dan orang-orang Yahudi") menyatakan bahwa mayoritas anti-Nazi (nasional-konservatif) adalah antisemit. Dipper menyatakan bahwa bagi sebagian besar penentang Nazi seperti nasional-konservatif, "birokrasi dan hukum perampasan harta orang-orang Yahudi yang dipraktekkan sampai tahun 1938 masih diterima". Meskipun Dipper mencatat bahwa tak seorang pun pengikut nasional-konservatif yang mendukung Holocaust, ia juga berkomentar bahwa nasional-konservatif tidak berniat untuk mengembalikan hak-hak sipil orang-orang Yahudi setelah merencanakan penggulingan Hitler. Dipper juga berpendapat bahwa "sama halnya dengan pandangan yang dianut oleh para penentang Nazi, sebagian besar rakyat Jerman juga percaya bahwa "Permasalahan Yahudi" ini ada dan harus diselesaikan."

Robert Gellately berpendapat bahwa sebagian besar penduduk sipil Jerman mengetahui apa yang terjadi. Menurut Gellately, pemerintah secara terbuka mengumumkan konspirasi melalui media, dan bahwa warga sipil mengetahui setiap aspeknya kecuali penggunaan kamar gas.[130] Bukti sejarah signifikan menunjukkan gagasan bahwa sebagian besar korban Holocaust, sebelum dikirim ke kamp konsentrasi, tidak mengetahui nasib yang menanti mereka, atau tidak mempercayainya. Mereka meyakini bahwa mereka akan direlokasi dan diberikan tempat tinggal baru.

Dalam esainya tahun 1965 yang berjudul "Command and Compliance", sejarawan Jerman Hans Buchheim menyatakan bahwa tidak ada paksaan untuk membunuh orang Yahudi atau yang lainnya, namun setiap orang diberikan kebebasan untuk melakukan hal tersebut. Namun, Buchheim juga mengungkapkan bahwa ia menemukan bukti yang menunnukkan bahwa anggota SS yang menolak untuk melaksanakan perintah kriminal akan dikirim ke kamp konsentrasi atau dieksekusi. Selain itu, orang-orang non-kriminal yang melakukan kejahatan terlebih karena alasan mereka ingin menyesuaikan diri dengan nilai-nilai kelompok mereka atau takut jika dicap "lemah" oleh rekan-rekan mereka jika mereka menolak.

Christopher Browning telah meneliti tentang Batalyon 101 Ordnungspolizei Jerman yang ditugaskan untuk membantai dan mengumpulkan orang-orang Yahudi untuk dideportasi ke kamp-kamp kematian Nazi. Sebagian besar pasukan batalion itu terdiri dari pria paruh baya kelas pekerja yang berasal dari Hamburg, mereka tidak layak untuk diserahi tugas militer dan tidak diberi pelatihan khusus untuk melakukan genosida. Komandan dari unit ini tetap memberikan anak buahnya pilihan untuk keluar dari pasukan jika mereka merasa pekerjaan tersebut tidak menyenangkan, namun mayoritas pasukan memilih untuk tidak mengambil pilihan itu, hanya 15 dari 500 anggota batalion yang melakukannya. Dipengaruhi oleh karya Stanley Milgram, Browning berpendapat bahwa pasukan batalion bersedia bergabung dan melakukan pembantaian lebih karena ketaatan mereka kepada otoritas dan tekanan dari teman sebaya, bukan karena nafsu keji atau kebencian. Implikasi umum dari buku ini adalah bahwa ketika ditempatkan dalam grup kohesif, kebanyakan orang akan mematuhi perintah yang diberikan oleh yang berwenang, meskipun mereka sadar bahwa perintah tersebut bertentangan dengan moral.

Sejarawan Rusia Sergei Kudryashov meneliti tentang para penjaga di kamp konsentrasi Trawniki. Beberapa penjaga di Trawniki adalah Tentara Merah tawanan perang yang mengajukan diri untuk bergabung dengan SS agar bisa keluar dari kamp-kamp POW. Mayoritas penjaga pria di Trawniki adalah tentara komunis Ukraina atau Volksdeutche, meskipun ada juga tentara Rusia, Polandia, Latvia, Lithuania, Tartar , Georgia, Armenia, dan Azerbaijan. Sebagian besar penjaga-penjaga ini mematuhi perintah SS untuk menganiaya orang-orang Yahudi. penganiayaan orang-orang Yahudi oleh penjaga Trawniki "seringkali dilakukan secara sistematis dan tanpa penyebab tertentu." Banyak dari penjaga-penjaga ini, meskipun tidak semuanya, yang telah mengeksekusi orang-orang Yahudi. Hampir setiap orang yang bekerja sebagai penjaga di kamp-kamp Operasi Reinhard secara pribadi telah membunuh puluhan orang Yahudi. Sependapat dengan Christopher Browning, Kudryashov juga menyatakan bahwa penjaga-penjaga Trawniki ini adalah contoh dari orang-orang biasa yang bersedia menjadi pembunuh karena tekanan dari rekan seperjuangan dan ketaatan pada otoritas yang lebih tinggi.

Sepanjang tahun 1942, enam kamp telah didirikan sebagai kamp-kamp pemusnahan (Vernichtungslager) untuk mendukung pelaksanaan rencana Reinhard.[161] Meskipun Chemno secara teknis bukanlah bagian dari Operasi Reinhard, kamp ini mulai difungsikan sebagai kamp pemusnahan pada bulan Desember 1941.[162] Sebelumnya, dua di antara kamp-kamp ini; Chemno (juga dikenal dengan Kulmhof) dan Majdanek, sudah difungsikan sebagai kamp kerja paksa, dan kemudian fasilitas-fasilitas pemusnahan juga mulai ditambahkan ke kamp-kamp ini. Tiga kamp baru dibangun dengan tujuan tunggal untuk membunuh sejumlah besar orang Yahudi secepat mungkin, yaitu di Belzec, Sobibor dan Treblinka. Kamp ketujuh yang kemudian dibangun di Maly Trostinets, Belarus, juga digunakan untuk tujuan ini. Jasenovac adalah sebuah kamp pemusnahan di mana sebagian besar etnis Serbia tewas.

Kamp-kamp pemusnahan seringkali disamakan dengan kamp konsentrasi seperti Dachau dan Belsen. Sebagian besar kamp konsentrasi berada di Jerman dan dimaksudkan semata-mata sebagai tempat penahanan dan kerja paksa untuk berbagai musuh rezim Nazi (seperti Komunis dan homoseksual). Kamp konsentrasi juga berbeda dengan kamp kerja paksa, yang didirikan di semua negara yang diduduki Jerman untuk mengeksploitasi tenaga kerja tahanan dari berbagai etnis, termasuk tawanan perang. Dalam semua kamp-kamp Nazi memang tercatat angka kematian yang sangat tinggi karena kelaparan, penyakit dan kelelahan, namun hanya kamp-kamp pemusnahan yang dirancang khusus sebagai tempat untuk pembunuhan massal. Kamp-kamp pemusnahan ini dijalankan oleh petugas SS, namun sebagian besar penjaganya adalah tentara-tentara Ukraina atau Baltik.

Di kamp-kamp pemusnahan yang memiliki kamar gas, semua tahanan akan diangkut dengan menggunakan kereta api barang atau ternak. Terkadang kereta-kereta tersebut dikirim langsung ke kamar-kamar gas, namun biasanya dokter kamp akan menyeleksi sebagian kecil individu-individu yang dianggap cocok untuk bekerja di kamp-kamp kerja paksa, dan selebihnya akan dikirim langsung dari peron ke ruang tunggu. Di tempat ini, semua pakaian mereka dan harta benda lainnya akan disita oleh Nazi yang kemudian digunakan untuk membantu mendanai perang. Para korban kemudian digiring telanjang ke dalam kamar gas. Untuk menghindari kepanikan, biasanya mereka diberitahu kalau ruangan tersebut adalah kamar mandi atau ruang delousing, dan ada tanda di dinding yang bertuliskan "kamar mandi" dan "sauna." Untuk semakin mempertegas kesan mandi tersebut, beberapa pancuran ditempatkan di dalam kamar dan mereka kadang-kadang diberi sepotong kecil sabun dan handuk, serta diberitahu untuk mengingat di mana mereka telah menempatkan barang-barang mereka untuk alasan yang sama. Ketika para korban meminta segelas air karena kehausan setelah perjalanan panjang di kereta ternak, mereka diberitahu supaya buru-buru mandi, karena segelas kopi hangat yang semakin dingin sedang menunggu mereka di kamp.

Menurut Rudolf H, komandan Auschwitz, bungker 1 mampu menampung 800 orang, dan bungker 2 1.200 orang. Setelah ruangan penuh, pintu ditutup rapat dan zat beracun Zyklon-B, HCN, atau hidrogen sianida dialirkan ke dalam kamar melalui ventilasi di dinding samping. Semua yang ada di dalam kamar tewas dalam waktu 20 menit, kecepatan kematian tergantung pada seberapa dekat jarak para korban dari ventilasi gas. Menurut H, diperkirakan bahwa sekitar sepertiga dari para korban meninggal dengan cepat. Joann Kremer, seorang dokter SS yang mengawasi penggunaan gas, menyatakan bahwa: "Teriakan dan jeritan para korban terdengar dari awal, dan sudah jelas bahwa mereka sedang berjuang untuk kehidupan mereka." Saat mayat-mayat disingkirkan, beberapa korban ditemukan tewas dengan setengah berjongkok akibat penuhnya ruangan, kulit mereka berwarna merah muda dengan bintik-bintik merah dan hijau, mulut berbusa atau pendarahan dari telinga.

Setelah dieksekusi, gas beracun kemudian dipompa keluar, dan mayat-mayat disingkirkan (yang akan memakan waktu hingga empat jam), emas tambalan di gigi para korban akan diekstraksi dengan tang oleh para dokter gigi, dan rambut para wanita dipotong.[167] Selanjutnya, lantai dan dinding kamar gas dibersihkan. Tugas ini dilakukan oleh petugas Sonderkommando, yang khusus ditugaskan untuk menangani unit Yahudi. Di krematorium 1 dan 2, petugas Sonderkommando ini tinggal di loteng di atas krematorium, sedangkan di krematorium 3 dan 4, mereka tinggal di dalam kamar-kamar gas.[168] Setelah petugas Sonderkommando selesai mengurus mayat-mayat korban, petugas SS akan memeriksa untuk memastikan bahwa semua emas telah dicabut dari mulut korban. Jika hasil pemeriksaan itu menemukan masih ada emas yang terpasang di gigi korban, maka sebagai hukumannya, petugas Sonderkommando akan dilempar hidup-hidup ke tungku pemanggangan.

Pada awalnya, mayat-mayat korban dikubur di sebuah lubang dalam yang ditutupi dengan kapur, namun antara bulan September dan November 1942, atas perintah Himmler lubang-lubang tersebut digali dan bangkai-bangkai para korban kemudian dibakar. Pada musim semi tahun 1943, kamar gas dan krematorium baru dibangun untuk mengantisipasi jumlah tahanan yang semakin meningkat.

Perbaikan lain yang kami lakukan di Treblinka adalah dengan membangun kamar gas untuk mengakomodasi 2.000 orang sekaligus, karena Treblinka hanya memiliki 10 kamar gas dan masing-masingnya hanya bisa menampung 200 orang. Cara kami memilih korban adalah sebagai berikut: kami memiliki dua dokter SS di Auschwitz yang bertugas untuk memeriksa kereta-kereta para tahanan yang masuk. Para tahanan akan dibariskan oleh salah satu dokter yang akan membuat keputusan kemana mereka akan dikirim. Tahanan yang cocok untuk dipekerjakan akan dikirim ke kamp. Yang lainnya akan segera dikirim ke taman pemusnahan. Anak-anak usia muda adalah yang selalu dimusnahkan dengan alasan bahwa mereka masih muda dan tidak mampu bekerja. Di Treblinka, para korban hampir selalu tahu bahwa mereka akan dibinasakan, sedangkan di Auschwitz kami berusaha untuk menipu para korban dengan mengatakan bahwa mereka akan memasuki kamar mandi. Tentu saja, seringkali mereka menyadari niat kami dan kadang-kadang terjadi kerusuhan. Para perempuan seringkali menyembunyikan anak-anak mereka di bawah pakaian, tapi tentu saja saat kami menemukannya, anak-anak tersebut akan dikirim untuk dimusnahkan. Kami diminta untuk melaksanakan pemusnahan secara rahasia, namun bau busuk yang memuakkan dari pembakaran mayat terus menerus meresap ke seluruh wilayah, dan masyarakat sekitar tahu bahwa pemusnahan sedang terjadi di Auschwitz.

Dalam studinya mengenai Holocaust, sejarawan Peter Longerich mengungkapkan bahwa: "Yahudi pada prakteknya sama sekali tidak melakukan perlawanan". Hilberg juga mencatat bahwa peristiwa ini telah membangkitkan kembali sejarah penyiksaan orang-orang Yahudi yang juga pernah terjadi berabad-abad yang lalu. Di Warsawa, Timothy Snyder menyatakan bahwa sebuah pemberontakan terjadi tiga bulan setelah deportasi besar-besaran pada bulan Juli-September 1942. Pada saat Pemberontakan Ghetto Warsawa berhasil ditumpas Jerman Nazi pada musim semi 1943, hanya sebagian kecil dari Yahudi Polandia yang masih hidup.

Perlawanan Yahudi di Ghetto Warsawa berlangsung pada bulan Januari 1943, ribuan pejuang Yahudi bersenjata seadanya menyerang pasukan SS di teluk selama empat minggu sebelum dihancurkan oleh pasukan SS yang sangat unggul. Menurut laporan Yahudi, ratusan tentara Jerman tewas, sedangkan Jerman mengklaim hanya kehilangan 17 anggotanya dan 93 lainnya terluka. Menurut data Jerman, 13.000 orang Yahudi tewas selama pemberontakan, dan 57.885 selebihnya dideportasi dan digas di kamp kematian. Pemberontakan ini diikuti oleh pemberontakan di kamp pemusnahan Treblinka pada bulan Mei 1943, di mana sekitar 200 tahanan melarikan diri dari kamp setelah melumpuhkan para penjaga. Mereka membunuh sejumlah penjaga Jerman dan membakar kamp untuk menghilangkan jejak, namun 900 tahanan juga tewas, dan dari 600 orang yang berhasil melarikan diri, hanya 40 orang yang selamat dari perang. Dua minggu kemudian, juga terjadi pemberontakan di Ghetto Biaystok. Pada bulan September, ada pemberontakan singkat di Ghetto Vilna. Sebulan kemudian, 600 tahanan Yahudi, termasuk Yahudi Soviet tahanan perang, mencoba melarikan diri dari kamp pemusnahan Sobibor. Para tahanan berhasil membunuh 11 perwira SS Jerman dan sejumlah penjaga kamp. Namun, mereka tertangkap, dan tahanan kemudian dipanggang hidup-hidup, sedangkan 300 tahanan lainnya tewas dalam pelarian. Sebagian besar korban tewas di ladang ranjau yang dipasang mengelilingi kamp atau tertangkap kembali dan kemudian dieksekusi. Sekitar 60 tahanan yang selamat bergabung dengan partisan Soviet. Pada tanggal 7 Oktober 1944, 250 Sonderkommando Yahudi di Auschwitz menyerang penjaga kamp dan meledakkan Krematorium IV dengan bahan peledak yang telah diselundupkan oleh tahanan perempuan dari sebuah pabrik di dekatnya. Tiga penjaga Jerman tewas selama pemberontakan, salah satunya dimasukkan ke oven. Para Sonderkommando mengupayakan usaha pelarian besar-besaran, namun ke-250 tahanan yang kabur tersebut terbunuh tidak lama kemudian.

Diperkirakan sekitar 20.000 sampai 30.000 partisan Yahudi aktif dalam melawan Nazi dan kolaborator mereka di Eropa Timur.[175] Mereka terlibat dalam perang gerilya dan sabotase terhadap Nazi, menghasut pemberontakan Ghetto, dan membebaskan para tahanan. Di Lithuania, mereka membunuh sekitar 3.000 tentara Jerman. Sebanyak 1,4 juta tentara Yahudi juga bertempur untuk tentara Sekutu.[176] Dari jumlah tersebut, Sekitar 40% bertugas di Tentara Merah.[176] Sekitar 200.000 tentara Yahudi yang bertugas di Tentara Merah meninggal dalam perang.Brigadir Yahudi, sebuah unit yang terdiri dari 5.000 sukarelawan Yahudi yang berasal dari Mandat Britania atas Palestina berjuang di pasukan Angkatan Darat Britania Raya. Sukarelawan Yahudi yang berbahasa Jerman dari Kelompok Interogasi Khusus melakukan aksi komando dan operasi sabotase terhadap Nazi di belakang garis depan dalam Kampanye Gurun Barat.

Di wilayah Polandia dan Soviet yang diduduki Jerman Nazi, ribuan orang Yahudi melarikan diri ke dalam rawa-rawa atau hutan dan bergabung dengan partisan, meskipun gerakan partisan tersebut tidak selalu menyambut mereka. Di Lithuania dan Belarus, kelompok partisan Yahudi menyelamatkan ribuan warga sipil Yahudi dari pemusnahan. Di Amsterdam dan wilayah lainnya di Belanda, banyak orang Yahudi yang aktif dalam melawan Nazi.Timothy Snyder menyatakan bahwa "pejuang dalam Pemberontakan Warsawa adalah veteran dari pemberontakan ghetto pada tahun 1943. Sebagian besar orang Yahudi bergabung dengan Armia Krajowa, dan lebih banyak orang Yahudi yang berperang dalam Pemberontakan Warsawa pada bulan Agustus 1944 dibandingkan dengan Pemberontakan Ghetto Warsawa pada bulan April 1943." Bergabung dengan kelompok partisan adalah satu-satunya pilihan yang tersedia bagi kaum muda dan sehat yang bersedia meninggalkan keluarga mereka. Banyak keluarga Yahudi yang lebih suka untuk mati bersama-sama daripada harus dipisahkan.

Yahudi Perancis juga sangat aktif dalam menentang Nazi, mereka melakukan kampanye gerilya melawan Nazi dan otoritas Vichy, membantu Sekutu dalam menghalau mereka dari Perancis, dan mendukung Sekutu dalam operasi pembebasan kota-kota di Perancis yang diduduki Jerman. Meskipun orang-orang Yahudi hanya satu persen dari penduduk Perancis, mereka berkontribusi dalam lima belas sampai dua puluh persen dari perlawanan Perancis dalam menentang Nazi. Gerakan pemuda Yahudi EEIF, yang awalnya menunjukkan dukungan pada rezim Vichy, dibubarkan pada tahun 1943, dan banyak dari anggotanya yang lebih tua kemudian membentuk unit perlawanan bersenjata. Zionis Yahudi juga membentuk Armee Juive (Tentara Yahudi) yang berpartisipasi dalam perlawanan bersenjata di bawah bendera Zionis dan menyelundupkan para Yahudi ke luar negeri. Kedua organisasi di atas bergabung pada tahun 1944, dan selanjutnya berpartisipasi dalam pembebasan Paris, Lyon, Toulouse,Grenoble, dan Nice.

Heydrich terbunuh di Praha pada bulan Juni 1942. Ia digantikan sebagai kepala RSHA oleh Ernst Kaltenbrunner. Kaltenbrunner dan Eichmann, di bawah pengawasan yang ketat dari Himmler, mengawasi klimaks dari Solusi Akhir. Selama tahun 1943 dan 1944, kamp-kamp pemusnahan dioperasikan pada tingkat terganas untuk membunuh ratusan ribu orang yang dikirim kesana dengan kereta api dari hampir setiap negara yang diduduki oleh Jerman. Pada musim semi tahun 1944, lebih dari 8.000 orang digas setiap hari di Auschwitz.[181]

Meskipun produksi tertinggi dari industri perang Jerman berbasis di ghetto-ghetto Yahudi di Pemerintahan Umum, selama tahun 1943 ghetto-ghetto ini dilikuidasi, dan populasinya dikirim ke kamp-kamp untuk dimusnahkan. Yang terbesar dari operasi ini yaitu deportasi sekitar 100.000 Yahudi dari Ghetto Warsawa pada awal tahun 1943. Sekitar 42.000 orang Yahudi ditembak selama Operasi Festival Panen pada tanggal 3-4 November 1943.[182] Pada saat yang sama, pengiriman kereta api ke kamp-kamp Nazi tiba secara teratur dari barat dan selatan Eropa. Beberapa Yahudi juga dikirimkan dari wilayah-wilayah Soviet yang diduduki Jerman ke kamp, pembunuhan orang Yahudi yang tersisa di zona ini dituntaskan oleh SS, dibantu oleh tentara-tentara lokal yang direkrut. Dalam berbagai peristiwa, pada akhir tahun 1943 Jerman akhirnya terusir dari sebagian besar wilayah Soviet.

Pengiriman Yahudi ke kamp-kamp terus dilakukan oleh Jerman, dan terus berlanjut bahkan saat menghadapi situasi militer yang semakin darurat setelah Pertempuran Stalingrad pada akhir tahun 1942. Serangan udara Sekutu terhadap fasilitas industri dan transportasi Jerman juga semakin meningkat. Para pemimpin militer dan ekonomi Jerman mulai mengeluhkan mengenai pembunuhan pekerja Yahudi yang terampil. Pada tahun 1944, sudah jelas bagi kebanyakan orang Jerman yang tidak dibutakan oleh fanatisme Nazi bahwa Jerman sudah kalah perang. Banyak pejabat senior yang mulai ketakutan terhadap nasib yang mungkin menunggu mereka dan Jerman terkait dengan kejahatan yang dilakukan atas nama mereka.

Pada bulan Oktober 1943, Himmler memberikan pidato kepada pejabat senior Partai Nazi yang berkumpul di Posen (sekarang Pozna, Polandia Barat). Dalam pidato ini, Himmler secara eksplisit menyatakan bahwa ia bermaksud untuk membasmi orang Yahudi dari Eropa:

Saya disini dalam pertemuan ini untuk berpidato mengenai permasalahan yang kita, kawan-kawan partai saya, hadapi, permasalahan tersulit dalam hidup saya, permasalahan Yahudi ... Kita menghadapi permasalahan: bagaimana dengan para wanita dan anak-anak? Saya telah memecahkan persoalan ini bahkan dengan solusi yang benar-benar jelas. Saya tidak menganggap tindakan saya untuk memusnahkan para pria bisa dibenarkan, namun membiarkan para penuntut balas dalam sosok anak-anak untuk tumbuh dewasa adalah hal yang salah ... Jadi keputusan sulit harus diambil, orang-orang ini harus dilenyapkan dari muka bumi.

Hadirin yang mendengarkan pidato ini termasuk Laksamana Karl Dnitz dan Menteri Albert Speer. Dnitz kemudian mengungkapkan dalam pengadilan Nuremberg bahwa ia tidak mengetahui tentang "Solusi Akhir". Sedangkan Speer menyatakan di persidangan dan dalam sebuah wawancara berikutnya bahwa "Jika saya tidak mengetahuinya, maka itu karena saya tidak ingin mengetahuinya." Teks pidato di atas belum terungkap pada saat persidangan mereka.

Skala pemusnahan massal agak menurun pada awal 1944 setelah ghetto di Polandia yang diduduki Jerman dikosongkan, namun pada tanggal 19 Maret 1944, Hitler memerintahkan pendudukan militer Hungaria, dan Eichmann dikirim ke Budapest untuk mengawasi deportasi sekitar 800.000 Yahudi Hungaria. Lebih dari setengah Yahudi Hungaria telah dikirim ke Auschwitz pada tahun itu. Komandan Rudolf H, mengatakan di persidangannya bahwa ia telah membunuh 400.000 orang Yahudi Hungaria dalam waktu tiga bulan.

Operasi untuk membunuh orang-orang Yahudi Hungaria menghadapi pertentangan yang kuat dalam hirarki Nazi. Ada beberapa pendapat yang menyarankan bahwa Hitler harus menawarkan tentara Sekutu kesepakatan untuk menukar ratusan ribu Yahudi Hungaria dengan perlengkapan perang. Ada negosiasi tidak resmi di Istanbul antara agen Himmler, agen Inggris, dan perwakilan dari organisasi-organisasi Yahudi, yang berakhir dengan pertukaran satu juta Yahudi Hungaria dengan 10.000 truk, yang kemudian dikenal dengan proposal "darah untuk barang" ("blood for goods").

Pelarian para tahanan dari kamp hanya sedikit, dan sebagian besarnya tidak diketahui. Pada tahun 1940, komandan Auschwitz melaporkan bahwa "penduduk lokal adalah orang Polandia yang sangat fanatik dan ... siap untuk mengambil tindakan apapun terhadap personil kamp SS. Setiap tahanan yang berhasil melarikan diri dapat mengandalkan bantuan penduduk lokal saat ia mencapai dinding perumahan yang pertama." Menurut Ruth Linn, bagaimanapun juga pelarian tahanan, terutama tahanan Yahudi, tidak sepenuhnya bisa mengandalkan bantuan dari penduduk lokal ataupun gerakan "bawah tanah" Polandia.

Pada bulan Februari 1942, seorang tahanan bernama Jacob Grojanowski melarikan diri dari kamp pemusnahan Chemno dan berhasil mencapai mencapai Ghetto Warsawa. Di sana ia memberikan informasi rinci tentang kamp Chemno pada kelompok Shabbat Oneg. Laporannya, yang kemudian dikenal sebagai Laporan Grojanowski, diselundupkan keluar dari ghetto melalui saluran-saluran "bawah tanah" Polandia kepada Delegatura, dan tiba di London pada bulan Juni 1942. Tidak diketahui apa yang dilakukan oleh pemerintah Inggris untuk menyikapi laporan tersebut pada saat itu.[149][188][189] Sementara itu, pada tanggal 1 Februari, Kantor Informasi Perang Amerika Serikat memutuskan untuk tidak merilis informasi tentang pemusnahan orang-orang Yahudi karena merasa bahwa hal itu akan menyesatkan publik dengan berpikir bahwa perang hanyalah masalah Yahudi.[191]

Pada tanggal 9 Oktober 1942, radio Inggris menyiarkan berita mengenai peng-gas-an orang-orang Yahudi ke Belanda. Bulan Desember 1942, Sekutu merilis Deklarasi Bersama Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menggambarkan bagaimana "Hitler berulang kali berniat untuk memusnahkan orang-orang Yahudi di Eropa" dan menyatakan bahwa mereka "mengutuk sekuat mungkin kebijakan binatang dari pemusnahan berdarah dingin Nazi".

Pada tahun 1942, Jan Karski melaporkan kepada pemerintah Polandia, Inggris dan AS mengenai situasi di Polandia, terutama kehancuran Ghetto Warsawa dan genosida orang-orang Yahudi. Dia bertemu dengan politisi Polandia di pengasingan, termasuk perdana menteri, serta anggota partai politik seperti Partai Sosialis, Partai Nasional, Partai Buruh, Partai Rakyat, Jewish Bund dan Poalei Sion. Dia juga berbicara kepada sekretaris luar negeri Inggris Anthony Eden, dan menjelaskan secara rinci tentang apa yang telah dilihatnya di Warsawa dan Beec. Pada tahun 1943, di London ia bertemu dengan wartawan Arthur Koestler. Karski juga melakukan perjalanan ke Amerika Serikat dan melaporkannya kepada Presiden Franklin D. Roosevelt. Laporannya merupakan sumber utama dalam menginformasikan Holocaust kepada dunia Barat.

Originally posted here:
Holokaus - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Related Posts

Comments

Comments are closed.

matomo tracker